Selasa, 14 Juni 2011

pendidikan pancasila

JAWABAN:
1.  Tugas dan kewenangan MPR menurut UUD 1945 antara sebelum dan sesudah amandemen:
a.      Sebelum amandemen
·      Tugas:
1.      Menetapkan Undang-Undang Dasar.
2.      Menetapkan Garis-Garis Besar Haluan Negara.
3.      Memilih (dan mengangkat) presiden dan wakil Presiden.
·      Wewenang
1.      Membuat putusan-putusan yang tidak dapat dibatalkan oleh lembaga negara yang lain, termasuk penetapan Garis-Garis Besar Haluan Negara yang pelaksanaannya ditugaskan kepada Presiden/Mandataris.
2.      Memberikan penjelasan yang bersifat penafsiran terhadap putusan-putusan Majelis.
3.      Menyelesaikan pemilihan dan selanjutnya mengangkat Presiden Wakil Presiden.
4.      Meminta pertanggungjawaban dari Presiden/ Mandataris mengenai pelaksanaan Garis-Garis Besar Haluan Negara dan menilai pertanggungjawaban tersebut.
5.      Mencabut mandat dan memberhentikan Presiden dan memberhentikan Presiden dalam masa jabatannya apabila Presiden/mandataris sungguh-sungguh melanggar Haluan Negara dan/atau Undang-Undang Dasar.
6.      Mengubah undang-Undang Dasar.
7.      Menetapkan Peraturan Tata Tertib Majelis.
8.      Menetapkan Pimpinan Majelis yang dipilih dari dan oleh anggota.
9.      Mengambil/memberi keputusan terhadap anggota yang melanggar sumpah/janji anggota.
b.     Sesudah amandemen:
·      Tugas:
1.    Mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar 1945 (Pasal 3 ayat 1 Perubahan Ke III UUD 1945).
2.    Melantik Presiden dan Wakil Presiden (Pasal 3 ayat (2) Perubahan III dan IV UUD 1945).
3.    Dapat memberhentikan Presiden dan atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut UUD (Pasal 3 ayat 3 Perubahan ke III UUD 1945).
4.    Memilih  Presiden dan Wakil Presiden apabila keduanya berhenti secara bersamaan dalam masa jabatannya, dari dua pasangan calon Presiden dan calon Wakil Presiden yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang pasangan calon Presiden dan calon Wakil Presidennya meraih suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum sebelumnya, sampai berakhir masa jabatannya. (Pasal 8 ayat 3 Perubahan Keempat).
·      Wewenang:
1.      Menghilangkan supremasi kewenangannya
2.      Menghilangkan kewenangannya menetapkan GBHN
3.      Menghilangkan kewenangannya mengangkat Presiden (karena presiden dipilih secara langsung melalui pemilu)
4.      Tetap berwenang menetapkan dan mengubah UUD.
5.      Melantik presiden dan/atau wakil presiden


6.      Memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya
7.      Memilih Wakil Presiden dari dua calon yang diusulkan oleh Presiden dalam hal terjadi kekosongan Wakil Presiden
8.      Memilih Presiden dan Wakil Presiden dari dua pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang pasangan calon Presiden dan Wakil Presidennya meraih suara terbanyak pertama dan kedua dalam Pemilu sebelumnya sampai berakhir masa jabatannya, jika Presiden dan Wakil Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersamaan.
9.      MPR tidak lagi memiliki kewenangan untuk menetapkan GBHN

2.  Proses pemberhentian presiden atau wakil presiden antara sebelum dan sesudah amandemen UUD 1945
a.    Sebelum amandemen
Sebelum terjadinya perubahan terhadap UUD 1945, Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dengan alasan-alasan yang bersifat politik, bukan yuridis.UUD 1945 sebelum perubahan tidak mengatur bagaimana mekanisme impeachment dapat dilakukan dan alasan apa yang dapat membenarkan impeachment boleh dilakukan. UUD 1945 tidak mengatur secara eksplisit dan detail mengenai hal tersebut. UUD 1945 hanya mengatur mengenai penggantian kekuasaan dari presiden kepada wakil presiden jika presiden mangkat, berhenti atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya sebagaimana tertera dalam Pasal 8 UUD 1945. Tidak adanya pengaturan mengenai alasan dan mekanisme impeachment tersebut menyebabkan terjadinya kekosongan konstitusi (constitutionale vacuum) mengenai hal tersebut dalam UUD 1945. Impeachment tersebut dilakukan dengan cara yang relatif mudah. Bila DPR berpendapat bahwa presiden telah melanggar Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) atau mengambil sikap politik yang berlawanan dengan sikap politik DPR, DPR dapat mengundang MPR untuk melakukan Sidang Istimewa (SI) untuk membicarakan impeachment presiden. Bila MPR setuju, presiden harus berhenti.

b.    Sesudah amandemen
Perubahan Ketiga UUD 1945 memuat ketentuan pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya yang semata-mata didasarkan pada alasan-alasan yang bersifat yuridis dan hanya mengacu pada ketentuan normatif-limitatif yang disebutkan di dalam konstitusi.
Setelah adanya amandemen Undang-Undang Dasar 1945, untuk memberhentikan. Presiden dan atau Wakil Presiden, Majelis Permusyawaratan Rakyat tidak bisa lagi bertindak sendiri, tetapi harus melibatkan lembaga baru yang bernama Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Konstitusi inilah yang akan menentukan apakah presiden dan atau wakil presiden benar benar telah melanggar hukum atau tidak.
Proses pemberhentian tersebut hanya dapat dilakukan setelah didahului adanya proses konstitusional melalui Mahkamah Konstitusi (MK) yang akan memeriksa, mengadili dan memutus pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lain, perbuatan tercela, atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden. Adanya kemungkinan pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya oleh MPR atas usul DPR inilah yang secara teknis ketatanegaraan disebut dengan istilah impeachment.
· Prosedur Pemberhentian
Usul pemberhentian dari DPR tersebut harus terlebih dahulu diajukan kepada Mahkamah Konstitusi untuk diperiksa dan diputus apakah Pendapat DPR dibenarkan atau permohonan ditolak. Pengajuan permintaan Dewan Perwakilan Rakyat kepada Mahkamah Konstitusi hanya dapat dilakukan dengan dukungan sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang hadir dalam sidang paripurna yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakya. Meskipun demikian, dalam hal Presiden dan/atau Wakil Presiden mengundurkan diri pada saat proses pemeriksaan di Mahkamah Konstitusi, maka proses pemeriksaan tersebut dihentikan dan permohonan dinyatakan gugur oleh Mahkamah Konstitusi. Putusan Mahkamah Konstitusi wajib dibacakan paling lama 90 hari setelah permohonan DPR dicatat dalam buku registrasi perkara.
Tindak lanjut dari Putusan MK yang membenarkan pendapat DPR atas dugaan pelanggaran adalah Dewan Perwakilan Rakyat harus menyelenggarakan sidang paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat. Majelis Permusyawaratan Rakyat wajib menyelenggarakan sidang untuk memutuskan usul Dewan Perwakilan Rakyat tersebut paling lambat tiga puluh hari sejak Majelis Permusyawaratan Rakyat menerima usul tersebut. Syarat yang ketat juga diterapkan dalam Sidang Paripurna karena Keputusan Majelis Permusyawaratan Rakyat harus diambil dalam rapat paripurna Majelis Permusyawaratan yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 3/4 dari jumlah anggota dan disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir, dengan terlebih dahulu memberi kesempatan Presiden dan/atau Wakil Presiden untuk menyampaikan penjelasan dalam rapat paripurna.


                                                                                       
3.  Tugas dan wewenang Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi
1.    MAHKAMAH AGUNG
·      Tugas:
1. Fungsi Peradilan
a.    Sebagai Pengadilan Negara Tertinggi, Mahkamah Agung merupakan pengadilan kasasi yang bertugas membina keseragaman dalam penerapan hukum melalui putusan kasasi dan peninjauan kembali menjaga agar semua hukum dan undang-undang diseluruh wilayah negara RI diterapkan secara adil, tepat dan benar.
b.    Pengadilan Kasasi, Mahkamah Agung berwenang memeriksa dan memutuskan pada tingkat pertama dan terakhir
·      semua sengketa tentang kewenangan mengadili.
·      permohonan peninjauan kembali putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (Pasal 28, 29,30,33 dan 34 Undang-undang Mahkamah Agung No. 14 Tahun 1985)
·      semua sengketa yang timbul karena perampasan kapal asing dan muatannya oleh kapal perang Republik Indonesia berdasarkan peraturan yang berlaku (Pasal 33 dan Pasal 78 Undang-undang Mahkamah Agung No 14 Tahun 1985)
c.    Erat kaitannya dengan fungsi peradilan ialah hak uji materiil, yaitu wewenang menguji/ menilai secara materiil peraturan perundangan dibawah Undang-undang tentang hal apakah suatu peraturan ditinjau dari isinya (materinya) bertentangan dengan peraturan dari tingkat yang lebih tinggi (Pasal 31 Undang-undang Mahkamah Agung Nomor 14 Tahun 1985).
2. Fungsi Pengawasan
a.    Mahkamah Agung melakukan pengawasan tertinggi terhadap jalannya peradilan di semua lingkungan peradilan dengan tujuan agar peradilan yang dilakukan Pengadilan-pengadilan diselenggarakan dengan seksama dan wajar dengan berpedoman pada azas peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan, tanpa mengurangi kebebasan Hakim dalam memeriksa dan memutuskan perkara (Pasal 4 dan Pasal 10 Undang-undang Ketentuan Pokok Kekuasaan Nomor 14 Tahun 1970).
b.    Mahkamah Agunbg juga melakukan pengawasan :
·         terhadap pekerjaan Pengadilan dan tingkah laku para Hakim dan perbuatan Pejabat Pengadilan dalam menjalankan tugas yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas pokok Kekuasaan Kehakiman, yakni dalam hal menerima, memeriksa, mengadili, dan menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya, dan meminta keterangan tentang hal-hal yang bersangkutan dengan teknis peradilan serta memberi peringatan, teguran dan petunjuk yang diperlukan tanpa mengurangi kebebasan Hakim (Pasal 32 Undang-undang Mahkamah Agung Nomor 14 Tahun 1985).
·         Terhadap Penasehat Hukum dan Notaris sepanjang yang menyangkut peradilan (Pasal 36 Undang-undang Mahkamah Agung Nomor 14 Tahun 1985).
3. Fungsi Mengatur
a.    Mahkamah Agung dapat mengatur lebih lanjut hal-hal yang diperlukan bagi kelancaran penyelenggaraan peradilan apabila terdapat hal-hal yang belum cukup diatur dalam Undang-undang tentang Mahkamah Agung sebagai pelengkap untuk mengisi kekurangan atau kekosongan hukum yang diperlukan bagi kelancaran penyelenggaraan peradilan (Pasal 27 Undang-undang No.14 Tahun 1970, Pasal 79 Undang-undang No.14 Tahun 1985).
b.    Mahkamah Agung dapat membuat peraturan acara sendiri bilamana dianggap perlu untuk mencukupi hukum acara yang sudah diatur Undang-undang.
4. Fungsi Nasehat
a.    Mahkamah Agung memberikan nasihat-nasihat atau pertimbangan-pertimbangan dalam bidang hukum kepada Lembaga Tinggi Negara lain (Pasal 37 Undang-undang Mahkamah Agung No.14 Tahun 1985). Mahkamah Agung memberikan nasihat kepada Presiden selaku Kepala Negara dalam rangka pemberian atau penolakan grasi (Pasal 35 Undang-undang Mahkamah Agung No.14 Tahun 1985). Selanjutnya Perubahan Pertama Undang-undang Dasar Negara RI Tahun 1945 Pasal 14 Ayat (1), Mahkamah Agung diberikan kewenangan untuk memberikan pertimbangan kepada Presiden selaku Kepala Negara selain grasi juga rehabilitasi. Namun demikian, dalam memberikan pertimbangan hukum mengenai rehabilitasi sampai saat ini belum ada peraturan perundang-undangan yang mengatur pelaksanaannya.
b.    Mahkamah Agung berwenang meminta keterangan dari dan memberi petunjuk kepada pengadilan disemua lingkunga peradilan dalam rangka pelaksanaan ketentuan Pasal 25 Undang-undang No.14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. (Pasal 38 Undang-undang No.14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung).
5. Fungsi Administratif
a.    Badan-badan Peradilan (Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara) sebagaimana dimaksud Pasal 10 Ayat (1) Undang-undang No.14 Tahun 1970 secara organisatoris, administrative dan finansial sampai saat ini masih berada dibawah Departemen yang bersangkutan, walaupun menurut Pasal 11 (1) Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999 sudah dialihkan dibawah kekuasaan Mahkamah Agung.
b.    Mahkamah Agung berwenang mengatur tugas serta tanggung jawab, susunan organisasi dan tata kerja Kepaniteraan Pengadilan (Undang-undang No. 35 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-undang No.14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman).
c.    mengadili sistem dan institusi negara.
·      Wewenang:
a.  Berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh Undang-Undang
b.  Mengajukan 3 orang anggota Hakim Konstitusi
c.  Memberikan pertimbangan dalam hal Presiden memberi grasi dan rehabilitasi

2.    MAHKAMAH KONSTITUSI
·      Tugas:
Mahkamah Konstitusi bertugas mengadili sistem dan institusi negara.
·      Wewenang:
Menurut Undang-Undang Dasar 1945, kewajiban dan wewenang MK adalah:
a.  Berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945;
b.    Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945;
c.    Memutus pembubaran partai politik;
d.    Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum;
e.    Mahkamah Konstitusi wajib memberi putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.

4.  Pancasila sebagai paradigma pembangunan
Pancasila sebagai paradigma, artinya nilai-nilai dasar pancasila secara normatif menjadi dasar, kerangka acuan, dan tolok ukur segenap aspek pembangunan nasional yang dijalankan di Indonesia. Hal ini sebagai konsekuensi atas pengakuan dan penerimaan bangsa Indonesia atas Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi nasional. Hal ini sesuai dengan kenyataan objektif bahwa Pancasila adalah dasar negara Indonesia, sedangkan negara merupakan organisasi atau persekutuan hidup manusia maka tidak berlebihan apabila pancasila menjadi landasan dan tolok ukur penyelenggaraan bernegara termasuk dalam melaksanakan pembangunan.
Nilai-nilai dasar Pancasila itu dikembangkan atas dasar hakikat manusia. Hakikat manusia menurut Pancasila adalah makhluk monopluralis. Kodrat manusia yang monopluralis tersebut mempunyai ciri-ciri, antara lain:
a. susunan kodrat manusia terdiri atas jiwa dan raga
b. sifat kodrat manusia sebagai individu sekaligus sosia
c. kedudukan kodrat manusia sebagai makhluk pribadi dan makhluk tuhan
Berdasarkan itu, pembangunan nasional diarahkan sebagai upaya meningkatkan harkat dan martabat manusia yang meliputi aspek jiwa, raga,pribadi, sosial, dan aspek ketuhanan. Secara singkat, pembangunan nasional sebagai upaya peningkatan manusia secara totalitas.
Pembangunan sosial harus mampu mengembangkan harkat dan martabat manusia secara keseluruhan. Oleh karena itu, pembangunan dilaksanakan di berbagai bidang yang mencakup seluruh aspek kehidupan manusia. Pembangunan, meliputi bidang politik, ekonomi, sosial budaya, dan pertahanan keamanan. Pancasila menjadi paradigma dalam pembangunan politik, ekonomi, sosial budaya, dan pertahanan keamanan.
a. Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan Politik
Manusia Indonesia selaku warga negara harus ditempatkan sebagai subjek atau pelaku politik bukan sekadar objek politik. Pancasila bertolak dari kodrat manusia maka pembangunan politik harus dapat meningkatkan harkat dan martabat manusia. Sistem politik Indonesia yang bertolak dari manusia sebagai subjek harus mampu menempatkan kekuasaan tertinggi pada rakyat. Kekuasaan adalah dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Sistem politik Indonesia yang sesuai pancasila sebagai paradigma adalah sistem politik demokrasi bukan otoriter.
Berdasar hal itu, sistem politik Indonesia harus dikembangkan atas asas kerakyatan (sila IV Pancasila). Pengembangan selanjutnya adalah sistem politik didasarkan pada asas-asas moral daripada sila-sila pada pancasila. Oleh karena itu, secara berturut-turut sistem politik Indonesia dikembangkan atas moral ketuhanan, moral kemanusiaan, moral persatuan, moral kerakyatan, dan moral keadilan. Perilaku politik, baik dari warga negara maupun penyelenggara negara dikembangkan atas dasar moral tersebut sehingga menghasilkan perilaku politik yang santun dan bermoral.
b. Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan Ekonomi
Sesuai dengan paradigma pancasila dalam pembangunan ekonomi maka sistem dan pembangunan ekonomi berpijak pada nilai moral daripada pancasila. Secara khusus, sistem ekonomi harus mendasarkan pada dasar moralitas ketuhanan (sila I Pancasila) dan kemanusiaan ( sila II Pancasila). Sistem ekonomi yang mendasarkan pada moralitas dam humanistis akan menghasilkan sistem ekonomi yang berperikemanusiaan. Sistem ekonomi yang menghargai hakikat manusia, baik selaku makhluk individu, sosial, makhluk pribadi maupun makhluk tuhan. Sistem ekonomi yang berdasar pancasila berbeda dengan sistem ekonomi liberal yang hanya menguntungkan individu-individu tanpa perhatian pada manusia lain. Sistem ekonomi demikian juga berbeda dengan sistem ekonomi dalam sistem sosialis yang tidak mengakui kepemilikan individu.
Pancasila bertolak dari manusia sebagai totalitas dan manusia sebagai subjek. Oleh karena itu, sistem ekonomi harus dikembangkan menjadi sistem dan pembangunan ekonomi yang bertujuan pada kesejahteraan rakyat secara keseluruhan. Sistem ekonomi yang berdasar pancasila adalah sistem ekonomi kerakyatan yang berasaskan kekeluargaan. Sistem ekonomi Indonesia juga tidak dapat dipisahkan dari nilai-nilai moral kemanusiaan. Pembangunan ekonomi harus mampu menghindarkan diri dari bentuk-bentuk persaingan bebas, monopoli dan bentuk lainnya yang hanya akan menimbulkan penindasan, ketidakadilan, penderitaan, dan kesengsaraan warga negara.
c. Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan Sosial Budaya
Pancasila pada hakikatnya bersifat humanistik karena memang pancasila bertolak dari hakikat dan kedudukan kodrat manusia itu sendiri. Hal ini sebagaimana tertuang dalam sila Kemanusiaan yang adil dan beradab. Oleh karena itu, pembangunan sosial budaya harus mampu meningkatkan harkat dan martabat manusia, yaitu menjadi manusia yang berbudaya dan beradab. Pembangunan sosial budaya yang menghasilkan manusia-manusia biadab, kejam, brutal dan bersifat anarkis jelas bertentangan dengan cita-cita menjadi manusia adil dan beradab. Manusia tidak cukup sebagai manusia secara fisik, tetapi harus mampu meningkatkan derajat kemanusiaannya. Manusia harus dapat mengembangkan dirinya dari tingkat homo menjadi human.
Berdasar sila persatuan Indonesia, pembangunan sosial budaya dikembangkan atas dasar penghargaan terhadap nilai sosial dan budaya-budaya yang beragam si seluruh wilayah Nusantara menuju pada tercapainya rasa persatuan sebagai bangsa. Perlu ada pengakuan dan penghargaan terhadap budaya dan kehidupan sosial berbagai kelompok bangsa Indonesia sehingga mereka merasa dihargai dan diterima sebagai warga bangsa. Dengan demikian, pembangunan sosial budaya tidak menciptakan kesenjangan, kecemburuan, diskriminasi, dan ketidakadilan sosial.
d. Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan Pertahanan Keamanan
Salah satu tujuan bernegara Indonesia adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Hal ini mengandung makna bahwa tugas dan tanggung jawab tidak hanya oleh penyelenggara negara saja, tetapi juga rakyat Indonesia secara keseluruhan. Atas dasar tersebut, sistem pertahanan dan keamanan adalah mengikut sertakan seluruh komponen bangsa. Sistem pembangunan pertahanan dan keamanan Indonesia disebut sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta (sishankamrata).
Sistem pertahanan yang bersifat semesta melibatkan seluruh warga negara, wilayah, dan sumber daya nasional lainnya, serta dipersiapkan secara dini oleh pemerintah dan diselenggarakan secara total terpadu, terarah, dan berlanjut untuk menegakkan kedaulatan negara, keutuhan wilayah, dan keselamatan segenap bangsa dari segala ancaman. Penyelenggaraan sistem pertahanan semesta didasarkan pada kesadaran atas hak dan kewajiban warga negara, serta keyakinan pada kekuatan sendiri.
Sistem ini pada dasarnya sesuai dengan nilai-nilai pancasila, di mana pemerintahan dari rakyat (individu) memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam masalah pertahanan negara dan bela negara. Pancasila sebagai paradigma pembangunan pertahanan keamanan telah diterima bangsa Indonesia sebagaimana tertuang dalam UU No. 3 Tahun 2002 tentang pertahanan Negara. Dalam undang-undang tersebut dinyatakan bahwa pertahanan negara bertitik tolak pada falsafah dan pandangan hidup bangsa Indonesia untuk menjamin keutuhan dan tetap tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
5.  Hubungan antara presiden, DPR, DPD, DPRD, dan BPK
a. Presiden dengan DPR
Hubungan antara Presiden dengan DPR dalam melaksanakan pemerintahan  (Hubungan yang bersifat Pengawasan ).
b. DPR dengan Presiden dan DPD
Hubungan antara DPR/DPD dengan Presiden dalam membuat UU dan APBN, juga untuk menyampaikan usul, pendapat, serta imunitas (Hubungan yang bersifat Fungsional ). Selain itu, terdapat hubungan DPR/DPD dalam lembaga MPR dengan Presiden (Hubungan yang bersifat Pelaporan atau Pertanggungjawaban).
Dalam hubungan dengan DPD, terdapat hubungan kerja dalam hal ikut memba­has RUU yang berkaitan dengan bidang tertentu, DPD memberikan pertimbangan atas RUU tertentu, menyampaikan hasil pengawasan pelaksanaan UU tertentu pada DPR, dan membuat peraturan atau kebijakan yang berhubungan dengan otonomi daerah (Hubungan yang bersifat Fungsional).
c. DPD dengan BPK
Dalam hubungannya dengan BPK, DPD berdasarkan ketentuan UUD men­erima hasil pemeriksaan BPK dan memberikan pertimbangan pada saat pemilihan anggota BPK.
Ketentuan ini memberikan hak kepada DPD untuk menjadikan hasil laporan keuangan BPK sebagai bahan dalam rangka melaksanakan tugas dan kewenangan yang dimilikinya, dan untuk turut menentukan keanggotaan BPK dalam proses  pemilihan anggota BPK. Disamping itu, laporan BPK akan dijadikan sebagai bahan untuk mengajukan usul dan pertimbangan berkenaan dengan RUU APBN.

d.  DPRD dengan DPR dan BPK
DPRD membentuk aparat penegak hukum dimana aparat tersebut berfungsi sebagai penindak lanjut laporan DPR yang di terima dari BPK berupa hasil pengawasan pengelolaan kekayaan negara.
e.  BPK dengan DPR dan DPD
Selain dalam kerangka pemeriksaan APBN, hubungan BPK dengan DPR dan DPD adalah dalam hal proses pemilihan anggota BPK.
Hubungan BPK dengan lembaga negara lain ( terutama Presiden dan Menteri-menteri) dalam penyelenggaraan keuangan lembaga-lembaga tersebut (Hubungan yang bersifat Fungsional).















TUGAS INDIVIDU
PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN


NAMA        : KHOTIMAH RAHMAD
NIM             : E1R010047
PRODI       : PENDIDIKAN MATEMATIKA

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MATARAM
2010/2011

SOAL :
1.    Jelaskan perbedaan tugas dan wewenang  MPR menurut  UUD 1945  antara sebelum dan sesudah  amandemen!
2.    Jelasakan  perbedaan proses  pemberhentian  Presiden /Wakil Presiden  menurut  UUD 1945 antara sebelum  dan sesudah amandemen!
3.     Jelaskan perbedaan tugas dan  kewenangan  antara Mahkamah Agung  dan Mahkamah Konstitusi !
4.    Jelaskan  yang dimaksud  dengan pancasila sebagai Paradigma pembangunan !
5.    Jelaskan hubungan antara Presiden, DPR,DPD,DPRD, dan BPK!


Tidak ada komentar:

Posting Komentar